Ujang Kémod Ngalalana

Ujang adalah seorang pemuda asal Bandung yang memiliki mimpi besar, Siti Hasanah, perempuan yang tinggal di Banda Aceh dan dikenalnya melalui sebuah kejadian tak terduga. Walaupun jarak memisahkan ribuan kilometer, tekad Ujang tidak pernah surut. Ia mengumpulkan uang sedikit demi sedikit dari hasil kerja serabutan di kota asalnya.
Dengan semangat yang tak tergoyahkan, Ujang mulai merencanakan perjalanannya. Ia tidak hanya ingin bertemu Siti Hasanah, tapi juga membuktikan pada keluarganya bahwa impian bisa diraih dengan kerja keras, doa, dan niat yang lurus. Ia pun mulai menelusuri cara terbaik untuk mencapai Banda Aceh dengan aman.
Persiapan Sebelum Merantau
Sebelum berangkat, Ujang membuat daftar barang-barang yang perlu ia bawa dalam perjalanan. Ia sadar bahwa perjalanan ini tidak akan mudah, dan ia harus siap secara mental dan fisik. Barang-barang itu termasuk pakaian, uang tunai, ponsel, charger, serta surat penting yang mungkin dibutuhkan dalam perjalanannya.
- Pakaian ganti untuk seminggu
- Uang tunai dan kartu ATM
- Dokumen pribadi: KTP, KK, dan ijazah
- Ponsel dan charger
- Buku catatan kecil dan pena
Setelah semua siap, Ujang menghubungi kawannya, Heri, yang bersedia mengantar hingga ke Jakarta. Mereka berangkat pagi-pagi dari Bandung, menumpangi bus menuju Terminal Kampung Rambutan, lalu naik taksi ke Bandara Soekarno-Hatta. Dari sanalah Ujang akan naik pesawat menuju Banda Aceh, kota yang sudah lama hanya ia kenal lewat cerita dan surat dari Siti.
- Naik bus dari Bandung ke Jakarta
- Dari Bandara Soekarno-Hatta terbang ke Banda Aceh
- Tiba di Banda Aceh, dijemput oleh kenalan Siti
- Beradaptasi dengan lingkungan baru
- Temui keluarga Siti dan menyampaikan niat baik
Di tengah malam yang sunyi, saat Ujang duduk sendiri menatap langit, ia teringat kata-kata ayahnya. Kata-kata itu membekas dalam hati Ujang, menjadi bahan renungan dan sumber semangat. Ia pun mencatatnya dalam buku kecil yang selalu dibawanya ke mana-mana, sebagai pengingat dalam setiap langkahnya.
Perjalanan jauh bukan untuk melarikan diri dari rumah, tapi untuk mendekatkan impian yang selama ini terasa jauh.
Hari-hari menjelang keberangkatan dilalui Ujang dengan hati yang berdebar. Heri sempat menyemangati saat melepas Ujang di bandara. Perjalanan itu terasa seperti langkah besar menuju dunia yang benar-benar asing. Namun Ujang percaya, bahwa jika niat baik yang mengiringi, maka jalan akan terbuka.
Perjalanan Menuju Banda Aceh
Ujang berangkat pada awal Mei 2005, hanya beberapa bulan setelah tsunami dahsyat mengguncang Aceh pada Desember 2004. Ia menyaksikan dari atas pesawat sisa-sisa kehancuran di sepanjang pantai. Setibanya di Bandara Sultan Iskandar Muda, udara terasa berat, dan aroma laut bercampur debu reruntuhan masih menyelimuti kota.
Ujang terdiam ketika melihat rumah-rumah yang rata dengan tanah, bekas puing-puing tersapu air laut. Banyak jalan menuju pantai masih rusak parah dan berlumpur, menyulitkan mobilitas ke wilayah pesisir yang dulunya padat penduduk. Beberapa kendaraan tua tampak terguling di parit, dan di beberapa titik, sisa reruntuhan masih menggunung.
Pertemuan Pertama
Sesaat setelah tiba di Banda Aceh, Ujang tak langsung beristirahat. Ia langsung diajak oleh sepupu Siti untuk bertemu keluarga besar Siti Hasanah. Di rumah panggung sederhana yang selamat dari tsunami, telah berkumpul ayah Siti, Mak Cik, beberapa sepupu, dan beberapa tetua kampung. Emak Siti sudah wafat sebelum tsunami, sehingga peran perempuan dituakan dipegang oleh Mak Cik dalam urusan adat keluarga.
Pertemuan berlangsung dengan penuh rasa hormat. Ujang diperkenalkan secara resmi dan kemudian diajak duduk melingkar di ruang tamu yang disulap jadi tempat musyawarah keluarga. Di sana, ia mulai mendengar penjelasan mengenai adat perkawinan di Aceh yang sakral dan penuh makna.
Sambutan Hangat
Ujang tak menyangka, meski datang dari jauh dan beda latar budaya, keluarga besar Siti menyambutnya dengan penuh kehangatan. Ia diberikan kamar khusus untuk menetap sementara, dan setiap makan selalu disiapkan hidangan khas Aceh seperti kuah pliek u, ayam tangkap, hingga kopi sanger yang kental. Ia merasa seperti bukan orang asing, melainkan bagian dari keluarga besar yang baru saja ia temui.
Mak Cik sering menasihatinya layaknya anak sendiri, dan ayah Siti perlahan-lahan mulai terbuka berbicara dengannya tentang kehidupan di Aceh pascakonflik. Sepupu-sepupu Siti kadang mengajaknya ke pasar atau membantu Ujang mengenali lingkungan sekitar. Dalam hatinya, Ujang bersyukur—di tengah luka yang masih membekas di kota ini, ia justru menemukan kehangatan dan harapan.
Lamaran yang Penuh Haru
Dua bulan setelah kedatangannya, Ujang memberanikan diri mengajukan lamaran. Keluarga Siti menerimanya dengan terbuka. Mereka melihat kesungguhan Ujang, yang datang dari jauh, melewati berbagai rintangan. Lamaran dilakukan sederhana, hanya dengan teh hangat, kue tradisional, dan untaian kata-kata tulus dari hati ke hati.
| Tanggal | Kegiatan | Keterangan |
|---|---|---|
| 3 Mei 2005 | Berangkat dari Bandung | Diarahkan Heri ke Jakarta |
| 4 Mei 2005 | Tiba di Banda Aceh | Bandara Sultan Iskandar Muda |
| 10 Juli 2005 | Lamaran | Diterima keluarga Siti |
Sebagai kenang-kenangan, Ujang menulis sebuah program sederhana dalam bahasa C++ untuk Siti. Program itu mencerminkan perjalanannya dan harapannya untuk masa depan bersama. Ia ingin menunjukkan bahwa perasaan dan logika bisa berjalan beriringan, seperti dalam kode-kode kecil yang ia tulis dengan penuh perasaan.
#include <iostream>
int main() {
std::string nama = "Siti Hasanah";
std::cout << "Perjalanan panjang ini untukmu, " << nama << std::endl;
return 0;
}
Penutup
Setiap langkah Ujang dari Bandung ke Banda Aceh adalah simbol bahwa perjalanan hidup kadang tak mudah, namun selalu berarti. Semoga kisah ini menjadi inspirasi bagi siapa saja yang sedang mengejar mimpi.